Wacana Ilmiah,semi ilmiah,dan non ilmiah
Carilah wacana yang membedakan pemanfaatan bahasa Indonesia pada tataran ilmiah, semi ilmiah, dan non ilmiah. Uploadlah dalam tiga judul yang berbeda !jawab:
a. Contoh penggunaan bahasa dalam tataran ilmiah
Makalah Ringkas
PERILAKU EMPAT KATA PENUNJUK ARAH DALAM BAHASA
BALI
I Dewa Putu Wijana
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
1. Pendahuluan
Dari berbagai bahasa, bahasa Bali mungkin merupakan salah satu bahasa
yang memiliki kata penunjuk arah (mata angin) yang memiliki perilaku yang unik
bila dilihat secara linguistis, khususnya dari aspek morfologis dan sintaktis. Hanya
kata-kata penunjuk arah inilah yang bisa dikenai proses morfologis dan sintaktis
tertentu, dan proses itu tidak pernah atau jarang sekali dapat dikenakan pada katakata
yang lain. Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan keunikan-keunikan itu,
dan berusaha mencari penjelasan mengapa keunikan itu bisa terjadi.
Dalam bahasa Bali, empat kata penunjuk arah yang utama diungkapkan
dengan satuan lingual kangin timur , kauh barat , kaja selatan , dan kelod
utara . Secara etimologis kata kelod berasal dari ke laut lewat proses persandian
(au>O) dan korespondensi /t/ dan /d/ dan pengubahan fungsi preposisi ke menjadi
suku awal . Hilangnya sifat kontras antara /t/ dan /d/dalam hal ini disebut dengan
netralisasi (Martinet, 1987, 85; Verhaar, 1996, 85). Oleh karenanya, tidak
mengherankan bila orang orang Bali menyebut tempat yang mengarah atau
menuju ke laut dengan kelod walaupun secara geografis tempat-tempat itu berada
di barat, selatan, atau timur. Orang Bali sering mengatakan Engken pasihe ento
kelode Mana lautnya di sanalah kelod . Kata lod dalam hal ini agaknya secara
diakronis berkorespondensi dengan kata lor dalam bahasa Jawa yang bermakna
utara hanya saja kemudian terjadi perubahan dalam bahasa Bali menjadi tempat
yang menuju ke laut . Dengan kontrusksi itu kata-kata penunjuk arah merupakan
kata-kata yang sangat tinggi frekuensi pemakaiannya karena begitu dekat
hubungannya dengan kehidupan orang Bali. Misalnya dalam dikotomi budaya
Bali kaja adalah gunung sebagai pusat kemakmuran dan kesuburan. Kelod adalah
tempat yang menuju laut. Kangin adalah tempat matahari terbit, dan kauh adalah
tempat matahari tenggelam. Dekatnya hubungan arah dan kehidupan manusia
inilah yang menyebabkan kata-kata ini memiliki perlakuan linguistik tertentu di
dalam pemakiannya. Hal ini agaknya belum pernah mendapatkan perhatian dari
ahli-ahli bahasa yang bergelut dengan bahasa Bali. Dalam tulisan ini ditemukan
dua buah proses linguistik yang khas dialami oleh kata-kata penunjuk arah ini,
yakni kontraksi preposisi di dan pembubuhan afiks be- yang secara berturut-turut
diuraikan dalam 2 dan 3.
2. Kontraksi preposisi di
Perubahan bunyi yang terjadi di dalam bahasa tidak hanya terjadi dalam tataran
Leksikon, tetapi mungkin pula ditemukan dalam tataran yang lebih tinggi, seperti
frasa dan kalimat (Pastika, 2004a, 1; 2004b, 52). Kontraksi di yang melekat pada
kata-kata penunjuk arah yang akan dibicarakan berikut ini pada hakikatnya
merupakan perubahan bunyi pada tataran frase.
Kontraksi adalah proses peringkasan leksem dasar atau gabungan leksem,
seperti tidak menjadi tak, tidak ada menjadi tiada, dsb. (Kridalaksana 1993, 121).
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Crystal (1978, 89)
yang mengemukakan bahwa kontraksi adalah:
The process or result of phonologically reducing a linguistic form so that
it comes to be attached to an adjacent linguistic form or fusing a
sequence of forms so that they appear as a single form.
Dengan terjadinya kontraksi secara diakronis maka semua kata-kata penunjuk
arah angin dalam bahasa Bali berawal dengan bunyi /k/, yakni kangin, kauh, kaja,
dan kelod. Kata kaja, kelod, kangin, dan kauh adalah nomina yang bila digunakan
untuk menunjuk tempat tertentu harus mengambil bentuk yang lain, yakni dangin,
dauh, daja, dan delod. Bila tidak maka kata kangin hanya dapat digunakan
sebagai nomina biasa, seperti dalam ungkapan Tusing nawang kaja kelod tidak
tahu selatan dan utara atau Tusing nawang kangin kauh Tidak tahu timur dan
barat . Adapun kalau arah itu menunjuk tempat akan digunakan seperti berikut ini:
(1)Dajan rurung-e ada anak ng-adep kembungan
Di selatan jalan-nya kl ada orang jual trans balon
Di selatan jalan ada orang yang menjual balon
(2) I Belog ulung di delod pangkung-e
Art. Belog ND jatuh di utara jurang kl
I Belog jatuh di sebelah utara jurang
(3) Dauh tukade tusing ada yeh.
Utara sungai tidak ada air
Di utara sungai tidak ada air
(4) Dangin tiange umah-ne.
Timur saya kl rumah pos.
Di sebelah timur rumah saya rumahnya
3. Prefiksasi be-
Dalam buku-buku tata bahasa bahasa Bali agaknya jarang sekali atau mungkin
tidak ada yang membicarakan afisk be-. Dengan kata lain afiks-afiks ini dianggap
tidak ada dalam bahasa Bali. Akan tetapi, secara sinkronis jelas sekali bahwa di
dalam bahasa Bali ada kata-kata bedauh jauh di barat , bedelod jauh di utara ,
bedaja jauh di selatan , bedangin jauh di timur . Dengan demikian, dicurigai ada
proses morfologis seperti di bawah ini:
be- + dauh > bedauh
be- + delod > bedelod
be- + daja > bedaja
be- + dangin > bedangin
Adapun pemakaiannya dapat dilihat dalam (14), (15), (16), dan (17) di bawah ini:
(5) + Dija ada balih-balihan?
Di mana KT ada tontonan
Di mana ada tontonan?
- Ditu bedaja.
Di sana di selatan
Di sana di selatan
(6) Bedangin tusing ada apa-apa.
di timur tidak Neg ada apa-apa
Di timur tidak ada apa-apa
(7) Ada apa bedauh?
ada apa KT di barat
Ada apa di barat?
(8) Umah-ne bedelod, tusing dini.
Rumah-nya pos di utara, bukan Neg. di sini
Rumahnya di utara, bukan di sini
Afiks be- yang melekat pada keempat kata penunjuk arah itu bermakna
gramatikal tempat yang jauh dari pembicara.Bila orang Bali ingin menunjuk
tempat yang dipandang tidak terlalu jauh, maka ia akan menggunakan klitika ne.
Kata-kata penunjuk arah yang berklitika ne ini dapat didahului dengan kata dini
di sini .
(9) + Lakar kija, Beli?
mau ke mana KT, Kakak
Mau pergi ke mana, kakak?
- Dini, dauh-ne jep.
di sini di barat Kl sebentar
Di sini di barat sebentar
4. Catatan Penutup
Proses linguistik apapun jenisnya yang terdapat di dalam bahasa bahasa
ternyata tidak terjadi pada sembarang bentuk kebahasaan, dan dapat dikenakan
secara analogis pada bentuk-bentuk serupa yang lain. Untuk ini diperlukan syarat
yang lain, yakni bentuk itu lazimnya memiliki ciri tertentu dan mempunyai
frekuensi pemakaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin secara kultural begitu
dekat atau penting hubungannya dengan kehidupan masyarakatnya.
Untuk mencapai penjelasan yang memuaskan analisis sinkronis pada saat-saat
tertentu membutuhkan penjelasan yang bersifat diakronis. Hal ini agaknya
berkaitan dengan prinsip uniformasi yang dikemukakan oleh Bell (1976, 187-191;
periksa juga Wardaugh, 1988, 18) yang mengemukakan bahwa: The linguistic
process which we observe to be taking place around us are the same as those
which have operated in the past, so that there can be no clean break between
synchronic matters and diachronic ones. Dalam hubungannya dengan kontraksi di
dalam bahasa Bali semakin jelas bahwa batas-batas tataran linguistik, leksikon,
fonologi, morfologi, dan sintaksis semakin tidak jelas (kabur).
Di dalam bahasa terdapat morfem-morfem yang bergabung dengan satu
satuan tertentu saja yang disebut dengan morfem unik (Ramlan, 1987, 82), ada
morfem yang dapat bergabung dengan berbagai jenis morfem, dan dalam
kaitannya dengan afiks be- dalam bahasa Bali, morfem ini hanya bergabung
dengan morfem dasar penunjuk arah yang bila konsep keunikan ini diperluas,
yakni dapat pula diterapkan untuk morfem terikat, maka be- dalam bahasa bali
disebut sebagai morfem semiunik.
b. Contoh bahasa dalam tataran semi ilmiah
KabarIndonesia - Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, melaui dinas pekerjaan umumnya (DPU) terus mempermulus jalan-jalan trans propinsi yang ada dikabupaten Tanah Bumbu itu. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT. Adhi Karya tersebut, sangat terasa manfaatnya oleh masyarakat.
"Khususnya para pengguna jalan trans provinsi, baik yang dari Banjarmasin menuju Batulicin dan Kotabaru," kata Fadli MHM, yang kesaharian sebagai pengemudi angkutan penumpang Banjarmasin - Batulicin PP.
"Dulu, sebelum jalan ini diperbaiki, dari Batulicin menuju Banjarmasin bisa memakan waktu hingga 7 jam perjalanan. Tetapi sekarang bisa ditempuh cukup dengan 5 jam saja," ujar Fadli.
c. Contoh penggunaan bahasa dalam tataran non-ilmiah
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar